**Bagi hamba yang beriman, KEGAGALAN adalah penghancur batu kesombongan.. InsyaAlloh..

Bismillahirrohmaannirrohiim..

Assalamu’alaikum Warohmatulloh Wabarokaatuh..
Semoga cerpen ini bermanfaat wahai sahabat-sahabatku


***



“Waaw.. ada lomba melukis lagi, dan ini tingkat Nasional? Great!!” Mata Ryan berbinar melihat poster lomba yang tertempel menarik di atas papan hitam berpondasi tiang yang kuat.
“Melukis kan makananku sehari-hari, masa iya aku kalah melawan yang lain.!” Senyumnya sedikit mengguratkan kesombongan.

“Heii…! sepertinya mau ikut lomba kamu, Ryan?” kedua bahu Ryan ditepuk agak keras, sehingga mengagetkan Ryan yang sedang asyik dengan poster lomba itu.

“Ah! Kamu, Di. Buat aku kaget saja!” hardik bayu dengan setengah melotot. Ardi yang diajak berbicara hanya tergelak melihat kawannya yang sok serius menurutnya.

“hahaha… biasa saja dong, Ryan! Serius sekali. Jadi, kamu sungguh-sungguh ingin mengikuti event ini ya?” Tanya Aldi yang akhirnya ikut serius. Aldi memandang lamat-lamat wajah kawannya yang mulai asyik berujar mengenai niatnya mengikuti perlombaan ini. Ada binar-binar semangat menggapai kemenangan dimatanya. Aldi tersenyum melihat ekspresi sahabatnya kali ini.

“Kamu tahu tidak kalau aku menang, Di? Aku bisa mendadak terkenal. Semua orang akan memandangku penuh hormat. Aku juga bisa beli apapun yang aku mau dengan uang hadiah itu, Al!”

“Ah! berlebihan kamu. Ketika kita memiliki harapan sebaiknya dibarengi dengan niat yang diakhiri dg rasa syukur yang baik. Bukan dengan kesombongan yang diterbangkan terlalu tinggi seperti itu, Ryan. Aku hanya khawatir ketika harapan itu terjatuh, kamu akan merasakan rasa yang teramat sakit. Memangnnya sudah ada orang bayaran untuk menyiapkan kasur empuk sebagai alas kamu biar tidak sakit kalau jatuh nanti? Hahaha…”

“Huh! Kamu, bukannya mendukung temannya untuk semangat berjuang malah menghancurkan semangatku berkeping-keping. Sudahlah, lihat saja nanti, aku akan membuktikan kalau aku mampu.” Alis sebelah kanan Ryan naik dibarengi dengan senyum penuh keyakinan.

Aldi memandang lamat-lamat sahabat dihadapannya sambil menghela nafas pelan, kemudian tersenyum dan mengangguk. “Baiklah, semangat berjuang ya, kawan. Jangan buat aku malu nanti! Hahaha..”

“Tenanglah, kawan! hahaha” mereka pun berangkulan menuju kantin bersama, perut mereka akhirnya keroncongan juga setelah menghabiskan waktu istirahat hanya di depan papan pengumuman yang pasti tidak bisa dimakan.

***
Suasana sore kembali memancarkan pesonanya dengan jingga yang merona disebelah barat. Suara deburan ombak di pantai menambah kedamaian kala itu. Bulu kuduk terasa menari-nari dengan lembut diajak sang angin nan riang. Ah! Rasanya ingin terlelap saja. Tapi tidak bagi laki-laki berperawakan kurus berstatus mahasiswa fakultas seni di salah satu perguruan tinggi negeri di Makasar ini. Matanya menerawang tajam memandang langit jingga dengan berani. Alis tebalnya mengernyit menambah ekspresi kesal dan marah di wajahnya. Nafasnya tersengal-sengal. Puluhan batu habis sudah mejadi korban amarahnya kali ini. Batu-batu itu pasrah mejadi luapan amarahnya pada keadaan. Pluung..!! satu-satu batu krikil penghias tepian pantai Losari beradu dengan ombak-ombak yang beriak-riak riang.
“Sudahlah, Ryan. kasihan batu-batu tak bersalah itu menjadi korban amarahmu.” Tangan Aldi mencoba meraih bahu Ryan yang terselimuti kaos lengan pendek bermotif garis-garis hitam-biru. “Semuanya sudah terjadi, tak perlu ada yang di sesali. Biarkan pelajaran yang menyertainya menjadi teman setiamu dalam meniti langkah selajutnya.” Suara Aldi lembut dan menenangkan ditambah senyum manis yang senantiasa menghiasi wajah Arab-Indonesia-nya. Ia harap dengan cara ini kesedihan yang bercampur amarah dalam hati sahabatnya mampu terkikis.
Ryan hanya mematung menantang senja. Rambut lurusnya tersapu-sapu angin. Bergoyang-goyang lembut. Pakaiannya setengah basah, terlebih celana panjangnya yang meski sudah digulung sampai lutut, tetap saja basah. Bagaimana tidak, kakinya pun seakan gatal untuk juga melampiaskan amarah kepada pasir-pasir lembut yang sebenarnya semakin cantik ketika lemparannya beradu dengan bias-bias cahaya senja ketika ditendang.
“Sudah hampir gelap, sebaiknya kita pulang, Ryan” Aldi kembali mencoba membujuknya.
“Kamu benar, Aldi.” Aldi tersenyum mendengar tanggapan sahabatnya kini.
“Baik, mari kita pulang.” Aldi memulai langkah, tetapi Ryan tetap saja mematung dengan tatapan kosong ke arah pancaran matahari yang mulai meredup.
“Maksudku, benar katamu dulu.” Ryan menarik nafas dengan berat. “Ketika kita memiliki harapan sebaiknya dibarengi dengan niat yang diakhiri dg rasa syukur yang baik. Bukan dengan kesombongan yang diterbangkan terlalu tinggi. Karena, ketika harapan itu terjatuh, kita akan merasakan rasa yang teramat sakit. Bukan begitu, Aldi?” mata Ryan berkaca-kaca mengucap ulang perkataan sahabatnya beberapa bulan yang lalu. Ia jatuh berlutut dan merunduk. Kedua tangannya memeras pasir yang tergenggam ditangannya. Semakin lama tubuhnya melemas dan berguncang. “Aku terlalu sombong, Al!” Tangisnya pecah, tentu tidak seperti wanita, tangisannya tetap sedikit tertahan.
            Aldi yang sedari tadi memandang dari balik punggung Ryan hanya mendengarkannya penuh haru. “Aku, Terlalu sombong Al! Ya Alloh… ma..afkan hamm..baa.. hik..” airmata mulai membasahi pipinya yang tirus. “Aku malu, Al! aku maluuu.. siapa aku, yang merasa pantas menyombongkan diri melebihi Alloh yang lebih pantas untuk sombong. Alloh pemilik segalanya, sedangkan aku, apa? Hik.”
            Aldi mencoba mendekati Ryan dengan perlahan, berfikir sejenak untuk mencari jawaban apa yang pas untuk sahabatnya. “Ryan. Bersyukurlah, masih Alloh selipkan iman dalam hatimu.” Aldi mencoba membuka jawaban sambil ikut duduk memeluk lutut disamping Ryan yang sudah larut dalam sesal sedari tadi. “Tidak selamanya kegagalan itu akan membawa dampak buruk kepada kita. Kamu ingat dengan kisah ratusan kegagalan yang Tomas Alfa Edison alami? Heeh.. terlalu klise memang contoh itu. Tapi coba kamu bayangkan jika ia ternyata memilih untuk menyerah pada kegagalannya yang ke-. Hmm, bisa-bisa buta warna kita. Hhaa..”
“dan satu hal yang mesti kamu syukuri, dengan kegagalan ini Alloh membantumu untuk menghancurkan tebing kesombongan yang kamu buat selama ini. Alloh ingin kamu bisa beriktiyar dan berjuang dengan segala kerendahan hati dan tawakal kepadaNya, kawan” “Alloh masih menyayangimu sebagai hambaNya yang beriman, insyaAlloh.” Aldi mencoba meyakinkan sahabatnya kuat-kuat. Mata teduhnya mencoba melawan tatapan Ryan yang mulai reda dari amarah, meski masih ada setitik keraguan disana.
“Benar begitu, Al?” Ryan akhirnya menoleh dan menatap mata aldi dengan penuh rasa penasaran. Matanya masih sembab, dan wajahnya pun masih memerah.
“Alloh menyayangiku?” Tanyanya kembali, seperti tersadar akan sesuatu yang mungkin ia lupakan selama ini.
“Iyah, InsyaAlloh.” Balas Aldi penuh ketenangan dengan senyum manis yang masih setia menghiasi wajahnya.
            “coba bayangkan bagaimana jadinya jika kamu harus menang. Tentu kesombongan yang ada dalam dirimu akan semakin sulit untuk disembuhkan.”
          “dan Alloh tidak ingin hal itu terjadi pada hambaNya yang dicintai, bukan?” Aldi mencoba menegaskan dan memberi keyakinan. Ryan membuang pandangannya kembali ke arah pasir-pasir yang mengilaukan bias-bias cahaya matahari. Ia melihat keindahan disana, dan mulai mencerna keindahan penciptanya yang pasti lebih jauh dan sangat jauh lebih indah dari ini. Keindahan wajahNya, keidahan kehendak dan sekenarioNya. Seperti sekenario pilihan yang special ia rasakan kali ini. Ryan tersenyum membayangkan itu semua. Biarlah kekalahannya dalam event itu membuatnya menjadi lebih baik lagi.



***
Kota Perindu Mutiara.
Anna AQyuan

Read more >>

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS