Bismillahirrohmaannirrohiim..
Assalamu’alaikum Warohmatulloh Wabarokaatuh..
Semoga cerpen ini bermanfaat wahai sahabat-sahabatku
“dan satu hal yang mesti kamu
syukuri, dengan kegagalan ini Alloh membantumu untuk menghancurkan tebing
kesombongan yang kamu buat selama ini. Alloh ingin kamu bisa beriktiyar dan
berjuang dengan segala kerendahan hati dan tawakal kepadaNya, kawan” “Alloh
masih menyayangimu sebagai hambaNya yang beriman, insyaAlloh.” Aldi mencoba
meyakinkan sahabatnya kuat-kuat. Mata teduhnya mencoba melawan tatapan Ryan
yang mulai reda dari amarah, meski masih ada setitik keraguan disana.
Read more >>
Assalamu’alaikum Warohmatulloh Wabarokaatuh..
Semoga cerpen ini bermanfaat wahai sahabat-sahabatku
***
“Waaw..
ada lomba melukis lagi, dan ini tingkat Nasional? Great!!” Mata Ryan berbinar
melihat poster lomba yang tertempel menarik di atas papan hitam berpondasi
tiang yang kuat.
“Melukis
kan makananku sehari-hari, masa iya aku kalah melawan yang lain.!” Senyumnya
sedikit mengguratkan kesombongan.
“Heii…!
sepertinya mau ikut lomba kamu, Ryan?” kedua bahu Ryan ditepuk agak keras,
sehingga mengagetkan Ryan yang sedang asyik dengan poster lomba itu.
“Ah!
Kamu, Di. Buat aku kaget saja!” hardik bayu dengan setengah melotot. Ardi yang
diajak berbicara hanya tergelak melihat kawannya yang sok serius menurutnya.
“hahaha…
biasa saja dong, Ryan! Serius sekali. Jadi, kamu sungguh-sungguh ingin
mengikuti event ini ya?” Tanya Aldi
yang akhirnya ikut serius. Aldi memandang lamat-lamat wajah kawannya yang mulai
asyik berujar mengenai niatnya mengikuti perlombaan ini. Ada binar-binar
semangat menggapai kemenangan dimatanya. Aldi tersenyum melihat ekspresi
sahabatnya kali ini.
“Kamu tahu tidak kalau aku menang, Di? Aku bisa
mendadak terkenal. Semua orang akan memandangku penuh hormat. Aku juga bisa
beli apapun yang aku mau dengan uang hadiah itu, Al!”
“Ah! berlebihan kamu. Ketika kita memiliki
harapan sebaiknya dibarengi dengan niat yang diakhiri dg rasa syukur yang baik.
Bukan dengan kesombongan yang diterbangkan terlalu tinggi seperti itu, Ryan.
Aku hanya khawatir ketika harapan itu terjatuh, kamu akan merasakan rasa yang
teramat sakit. Memangnnya sudah ada orang bayaran untuk menyiapkan kasur empuk
sebagai alas kamu biar tidak sakit kalau jatuh nanti? Hahaha…”
“Huh! Kamu, bukannya mendukung temannya untuk
semangat berjuang malah menghancurkan semangatku berkeping-keping. Sudahlah,
lihat saja nanti, aku akan membuktikan kalau aku mampu.” Alis sebelah kanan
Ryan naik dibarengi dengan senyum penuh keyakinan.
Aldi memandang lamat-lamat sahabat dihadapannya
sambil menghela nafas pelan, kemudian tersenyum dan mengangguk. “Baiklah,
semangat berjuang ya, kawan. Jangan buat aku malu nanti! Hahaha..”
“Tenanglah, kawan! hahaha” mereka pun berangkulan
menuju kantin bersama, perut mereka akhirnya keroncongan juga setelah
menghabiskan waktu istirahat hanya di depan papan pengumuman yang pasti tidak
bisa dimakan.
***
Suasana sore kembali memancarkan pesonanya dengan jingga yang merona
disebelah barat. Suara deburan ombak di pantai menambah kedamaian kala itu.
Bulu kuduk terasa menari-nari dengan lembut diajak sang angin nan riang. Ah!
Rasanya ingin terlelap saja. Tapi tidak bagi laki-laki berperawakan kurus
berstatus mahasiswa fakultas seni di salah satu perguruan tinggi negeri di
Makasar ini. Matanya menerawang tajam memandang langit jingga dengan berani. Alis
tebalnya mengernyit menambah ekspresi kesal dan marah di wajahnya. Nafasnya
tersengal-sengal. Puluhan batu habis sudah mejadi korban amarahnya kali ini.
Batu-batu itu pasrah mejadi luapan amarahnya pada keadaan. Pluung..!! satu-satu batu krikil penghias tepian pantai Losari
beradu dengan ombak-ombak yang beriak-riak riang.
“Sudahlah, Ryan. kasihan
batu-batu tak bersalah itu menjadi korban amarahmu.” Tangan Aldi mencoba meraih
bahu Ryan yang terselimuti kaos lengan pendek bermotif garis-garis hitam-biru.
“Semuanya sudah terjadi, tak perlu ada yang di sesali. Biarkan pelajaran yang menyertainya menjadi teman
setiamu dalam meniti langkah selajutnya.” Suara Aldi lembut dan menenangkan
ditambah senyum manis yang senantiasa menghiasi wajah Arab-Indonesia-nya. Ia
harap dengan cara ini kesedihan yang bercampur amarah dalam hati sahabatnya
mampu terkikis.
Ryan hanya mematung menantang
senja. Rambut lurusnya tersapu-sapu angin. Bergoyang-goyang lembut. Pakaiannya
setengah basah, terlebih celana panjangnya yang meski sudah digulung sampai
lutut, tetap saja basah. Bagaimana tidak, kakinya pun seakan gatal untuk juga
melampiaskan amarah kepada pasir-pasir lembut yang sebenarnya semakin cantik
ketika lemparannya beradu dengan bias-bias cahaya senja ketika ditendang.
“Sudah hampir gelap, sebaiknya
kita pulang, Ryan” Aldi kembali mencoba membujuknya.
“Kamu benar, Aldi.” Aldi tersenyum mendengar tanggapan sahabatnya kini.
“Baik, mari kita pulang.” Aldi memulai langkah, tetapi Ryan tetap saja
mematung dengan tatapan kosong ke arah pancaran matahari yang mulai meredup.
“Maksudku, benar katamu dulu.” Ryan menarik nafas dengan berat. “Ketika
kita memiliki harapan sebaiknya dibarengi dengan niat yang diakhiri dg rasa
syukur yang baik. Bukan dengan kesombongan yang diterbangkan terlalu tinggi. Karena,
ketika harapan itu terjatuh, kita akan merasakan rasa yang teramat sakit. Bukan
begitu, Aldi?” mata Ryan berkaca-kaca mengucap ulang perkataan sahabatnya
beberapa bulan yang lalu. Ia jatuh berlutut dan merunduk. Kedua tangannya
memeras pasir yang tergenggam ditangannya. Semakin lama tubuhnya melemas dan
berguncang. “Aku terlalu sombong, Al!” Tangisnya pecah, tentu tidak seperti
wanita, tangisannya tetap sedikit tertahan.
Aldi yang sedari tadi memandang dari balik punggung Ryan hanya mendengarkannya
penuh haru. “Aku, Terlalu sombong Al! Ya Alloh… ma..afkan hamm..baa.. hik..”
airmata mulai membasahi pipinya yang tirus. “Aku malu, Al! aku maluuu.. siapa
aku, yang merasa pantas menyombongkan diri melebihi Alloh yang lebih pantas
untuk sombong. Alloh pemilik segalanya, sedangkan aku, apa? Hik.”
Aldi mencoba mendekati Ryan dengan perlahan, berfikir sejenak untuk mencari
jawaban apa yang pas untuk sahabatnya. “Ryan. Bersyukurlah, masih Alloh
selipkan iman dalam hatimu.” Aldi mencoba membuka jawaban sambil ikut duduk
memeluk lutut disamping Ryan yang sudah larut dalam sesal sedari tadi. “Tidak
selamanya kegagalan itu akan membawa dampak buruk kepada kita. Kamu ingat
dengan kisah ratusan kegagalan yang Tomas Alfa Edison alami? Heeh.. terlalu
klise memang contoh itu. Tapi coba kamu bayangkan jika ia ternyata memilih
untuk menyerah pada kegagalannya yang ke-. Hmm, bisa-bisa buta warna kita.
Hhaa..”
“Benar begitu, Al?” Ryan akhirnya menoleh dan menatap mata aldi dengan
penuh rasa penasaran. Matanya masih sembab, dan wajahnya pun masih memerah.
“Alloh menyayangiku?” Tanyanya
kembali, seperti tersadar akan sesuatu yang mungkin ia lupakan selama ini.
“Iyah, InsyaAlloh.” Balas Aldi
penuh ketenangan dengan senyum manis yang masih setia menghiasi wajahnya.
“coba bayangkan bagaimana jadinya jika kamu harus menang. Tentu kesombongan
yang ada dalam dirimu akan semakin sulit untuk disembuhkan.”
“dan Alloh tidak ingin hal itu terjadi pada hambaNya yang dicintai, bukan?”
Aldi mencoba menegaskan dan memberi keyakinan. Ryan membuang pandangannya
kembali ke arah pasir-pasir yang mengilaukan bias-bias cahaya matahari. Ia
melihat keindahan disana, dan mulai mencerna keindahan penciptanya yang pasti
lebih jauh dan sangat jauh lebih indah dari ini. Keindahan wajahNya, keidahan
kehendak dan sekenarioNya. Seperti sekenario pilihan yang special ia rasakan
kali ini. Ryan tersenyum membayangkan itu semua. Biarlah kekalahannya dalam event itu membuatnya menjadi lebih baik
lagi.
***
Kota Perindu Mutiara.
Anna AQyuan